Skip to main content

Islam, Intelektualitas, dan Tantangan Skeptisisme Zaman Digital



Pendahuluan: Gen Z di Era Overthinking dan Overload

Kita hidup di zaman di mana informasi datang dari segala arah—TikTok, YouTube, Reddit, bahkan meme. Gen Z tumbuh di tengah gempuran konten yang tak berhenti, mulai dari edukatif sampai provokatif. Di satu sisi, ini membuat generasi muda jadi kritis dan ingin tahu. Tapi di sisi lain, muncul juga gejala skeptisisme ekstrem, termasuk terhadap agama. Pertanyaan seperti, “Kenapa harus percaya Tuhan?”, “Apa benar Islam itu rasional?”, atau “Apa agama masih relevan di era AI?” jadi semakin umum.

Pertanyaannya: apakah Islam cukup kuat untuk menjawab tantangan intelektual zaman ini?

Jawabannya: ya. Bahkan, Islam punya akar intelektual yang sangat dalam—lebih dari sekadar dalil, tapi juga dialog.

Tradisi Intelektual Islam: Bukan Warisan Dogma, Tapi Dinamika Ilmu

Islam tidak lahir di ruang kosong. Sejak wahyu pertama turun — Iqra' (Bacalah!) — Al-Qur’an sudah menanamkan nilai utama: ilm (ilmu). Rasulullah ﷺ bersabda:

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.”
(HR. Ibnu Majah)

Tradisi ini melahirkan peradaban ilmu di abad ke-8 hingga ke-14 yang memengaruhi Eropa, dunia Timur, dan dunia modern. Tokoh-tokoh seperti:

  • Al-Ghazali menulis tentang keraguan dan bagaimana meraih keyakinan melalui pencerahan spiritual dan logika.

  • Ibn Sina (Avicenna) memadukan filsafat Yunani dengan tauhid.

  • Ibn Rushd (Averroes) menulis karya monumental yang menggabungkan akal dan wahyu.

  • Fakhruddin ar-Razi menulis tafsir yang penuh logika, debat, dan filsafat.

Tradisi ini membuktikan bahwa iman dalam Islam bukan anti-rasional, tapi sangat rasional — bahkan kritis.


Tantangan Zaman Digital: Dari Skeptisisme hingga Relativisme

Di era digital, keraguan terhadap agama seringkali lahir bukan dari argumentasi filosofis yang kuat, tapi dari:

  • Fragmentasi informasi: Semua pendapat dianggap valid, bahkan hoaks sekalipun.

  • Krisis otoritas: Ulama, guru, bahkan orang tua tak lagi otomatis dipercaya.

  • Fenomena “Ex-Muslim” di media sosial: Banyak narasi keluar dari Islam yang menggiring opini publik, tanpa disertai klarifikasi yang ilmiah.

  • Budaya cancel & call-out: Agama dianggap terlalu kaku atau tidak inklusif oleh standar “woke”.

Padahal, dalam Islam, keraguan bukan untuk dihindari — tapi untuk diproses dengan benar. Bahkan Al-Qur'an mencatat pertanyaan skeptis secara eksplisit:

"Apakah apabila kami telah menjadi tanah, apakah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"
— QS. As-Sajdah: 10

Artinya, Al-Qur’an sudah terbiasa berdialog dengan keraguan. Bukan menolaknya mentah-mentah.


Iman dan Akal: Antara Keyakinan dan Rasionalitas

Islam tidak meminta iman yang buta. Bahkan, banyak ayat yang mengajak untuk berpikir (yatafakkarūn), merenung (yataammalūn), dan menggunakan akal (ya'qilūn`). Dalam pendekatan Islam:

  • Akal adalah alat untuk memahami wahyu.

  • Wahyu adalah petunjuk untuk menuntun akal agar tidak tersesat.

  • Keduanya harus berjalan seiring, bukan saling meniadakan.

Contoh nyata adalah dialog Nabi Ibrahim dengan Tuhan:

“Ya Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang mati.”
— QS. Al-Baqarah: 260

Allah tidak mencela pertanyaan itu. Justru menjawabnya secara ilmiah—dengan eksperimen nyata.


Jalan Tengah: Menjadi Intelektual Muslim di Era Digital

Menjadi Muslim intelektual di zaman ini artinya:

  1. Berani bertanya, tapi juga berani belajar. Jangan berhenti pada keraguan. Teruskan sampai menemukan jawaban dari sumber yang sahih dan mendalam.

  2. Buka kitab, bukan cuma TikTok. Konsumsi konten digital boleh, tapi seimbangkan dengan bacaan dari ulama dan pemikir Muslim yang kredibel.

  3. Berdialog, bukan debat kusir. Jangan jadi korban algoritma yang cuma memperkuat opini sendiri. Latih empati berpikir: dengar dulu sebelum menghakimi.

  4. Gabungkan iman dan ilmu. Keimanan yang kokoh justru berdiri di atas pondasi pemahaman, bukan hafalan semata.


 Penutup: Iman yang Dewasa, Bukan Takut Bertanya

Gen Z butuh pendekatan baru dalam beragama — bukan yang otoriter, tapi yang mendewasakan. Bukan takut bertanya, tapi tahu bagaimana bertanya dan kepada siapa. Dalam Islam, intelektualitas adalah bagian dari ibadah. Maka bertanya dengan adab, berpikir dengan tanggung jawab, dan belajar dengan niat yang lurus — semuanya bagian dari jalan menuju Allah.

“Sesungguhnya orang-orang yang berilmu itu takut kepada Allah.”
— QS. Fathir: 28

Di tengah dunia yang penuh keraguan, justru Islam hadir sebagai agama yang merangkul akal, menumbuhkan keyakinan, dan mendidik hati


Comments

© 2020 DarMus

Designed by Open Themes & Nahuatl.mx.